Tentara Nasional Indonesia dan Polisi lagi-lagi melakukan
kekerasan dan pembantaian. Pada 24 Desember 2011, mereka menembaki warga
yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) saat melakukan
aksi damai sejak empat hari lalu di pelabuhan Sape. Mereka
menolak hadirnya tambang emas PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN).
Pemerintah justru mengerahkan pasukan Brimob beserta perlengkapan anti
huru hara, yang justru menembaki mereka pagi tadi. 3 orang meninggal,
dan 9 lainnya kritis. Ini menandai puncak konflik antara
pemerintah, perusahaan dan korporasi bekerjasama melawan warga negara
sepanjang2011.
Penolakan Warga Lambu, Kabupaten Bima terhadap PT SMN telah
dilakukandua tahun terakhir. PT SMN mendapat Izin Usaha Penambangan
(IUP) pada2008 selama 25 tahun, yang kemudian diperbaharui Pemerintah
Kabupaten Bima IUP bernomor 188/45/357/004/2010, PT SMN dengan luasan
24.980 Hadi kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu dan seluas 14.318 Ha
untuk PT. Indo Mineral Cipta Persada yang beroperasi di kecamatan Parado
atas ijin Pemerintah pusat. PT Sumber Mineral Nusantara dimiliki
sebagian besar sahamnya oleh PT Arc Exploration Ltd dari Australia.
FRAT menyampaikan penolakan karena tambang emas itu akan
membahayakan mata pencarian warga. Warga Lambu sebagian besar
penduduknya bertani dan nelayan. Tambang itu akan membongkar tanah dan
mengganggu sumber air, tentunya akan menggangu pertanian warga. Apalagi
perusahaan tak pernah melakukan sosialisasi sebelumnya kepada
masyarakat. Sejak itu, warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti
Tambang (FRAT) terus menerus melakukan penolakan. Akhir Januari lalu,
sekitar 1500 orang mendatangi camat untuk melakukan penolakan.
Sayangnya tak mendapat tanggapan memuaskan. Bulan berikutnya, ebruari
2011, ribuan warga kembali long march sepanjang 2 kilometer ke kantor
camat Lambu.Pemerintah justru mengerahkan 250 personil aparat Polres
Kota Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil
Brimob Polda NTB. Pertemuan kembali tak ada hasil. Warga yang kecewa
mendorong pintu kantor kecamatan Lambu, justru dibalas gas air mata,
peluru karet, bahkan diduga peluru tajam. Ratusan preman yang
diorganisir aparat kecamatan memprovokasi warga. Bentrok tak bisa
dihindari.
Tak berhenti di situ. Polisi melakukan pengejaran dan menangkap lima
orang warga dan ditahan di Mapolresta Kota Bima. Korban berjatuhan,
M. Nasir (23) tulang kakinya diduga ditembak peluru tajam. November
2011, lebih seribu warga kembali melakukan aksi di depan DPRD Bima
menuntut hal sama.
Warga melaporkan masalahnya kepada Komnas HAM, yang kemudian
melakukan investigasi April 2011. Pada 9 November 2011, Komnas HAM
mengeluarkan rekomendasi Nomor 2.784/K/PMT/XI/2011 yang ditujukan untuk
Bupati Bima, Kapolda NTB dan Direktur PT SMN. Komnas HAM
merekomendasikan Bupati Bima memperbaiki sistem informasi dan
sosialisasi kegiatan pertambangan mulai eksplorasi hingga eksploitasi.
Juga menghentikan sementara kegiatan PT SMN, sambil menunggu
kondusifitas kehidupan bermasyarakat. Kapolda NTB diminta menempuh
langkah-langkah koordinatif dan komunikatif dengan seluruh unsur
pemerintah dan tokoh masyarakat guna mencegah terjadinya konflik
horizontal di Kabupaten Bima.
Komnas HAM mendesak menjamin kebebasan warga menyatakan pendapat
atau aspirasi (demonstrasi) sesuai ketentuan perundang-undangan, dan
menghindari tindakan represif menggunakan senjata dengan peluru tajam,
dalam pengamanan aksi unjuk rasa. Tapi yang dilakukan aparat justru
sebaliknya. Aksi damai yang dilakukan sejak 21 Desember 2011 itu
diakhiri dkekerasan dan pembantaian. Ada 3 orang meninggal, dan 8
lainnya luka-luka. Arif Rahman (19th) tertembak lengan kanan tembus ke
ketiak, Syaepul (17th) luka di dada dan tembus, dan satu lainnya belum
diketahui namanya.
Delapan lainnya yang luka-luka adalah Sahabudin (31th), Ilyas
Sulaiman (25th), Ibrahim (25th), Awaludin (24th), Suhaimi (23th),
Mistahudin (18,th), Hasanan (perempuan, 39th). Sepanjang 2011 kekerasan
oleh pemerintah dan aparat terhadap petani meningkat, WALHI mencatat
lebih 103 kasus konflik sumber daya alam berbagai sektor. Mulai kasus
Sorikmas di Sumatera Utara, Tiaka di Sulawesi tengah, Mesuji, kasus
Senyarang, kasus teluk meranti pulau Padang, sampai menjelang natal
kasus pembantaian di Lambu. Belum lagi potensi kasus lainnya yang serupa
ke depan.
Presiden SBY dan Budiono harus bertanggungjawab terhadap
bobroknya pengurusan agraria dan sumber daya alam, yang justru
penyelesaiannya menggunakan pendekatan kejahatan kemanusiaan. Oleh
karenanya kami
menuntut :
1.Presiden SBY segera mengeluarkan perintah resmi
menghentikan dan mencabut ijin Pertambangan PT. Sumber Mineral Nusantara
(SMN) dan menghentikan kekerasan dan pembantaian di Bima
2.Presiden SBY segera mengeluarkan perintah resmi menarik
dan mengevaluasi seluruh aparat TNI-Polri di lokasi konflik sumber
daya alam.
3.Presiden SBY segera menghentikan aktivitas perusahaan
yanga berkonflik dan berpotensi konflik hingga ada kepastian
penyelesaian secara struktural dengan membentuk Panitia Nasional
Penyelasaian konflik agraria dan sumber daya alam
4.DPR RI segera menggunakan hak interpelasinya untuk
meminta pertangungjawaban SBY atas terjadinya pelanggaran HAM berat di
sektor agraria dan sumber daya alam
5.SBY segera memecat dan mengganti Timor Pradopo, Kapolri
6.Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) memastikan perlindungan hukum terhadap korban, karena
indikasi kekerasan ini akan meluas ke depan.
7.Mendesak Mahkamah Konstitusi segera memutuskan gugatan
masyarakat sipil terhadap UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan
Batubara yang menuntut pencabutan pasal-pasal kriminalisasi warga.
Hormat Kami,
WALHI, JATAM, AGRA, KPA, YLBHI, Repdem, Sawit Watch, Koalisi
Anti Utang, HMI MPO, IGJ, Formada NTT/ JPIC OFM, LIMA, PMKRI, DPP
IMM, LMND, Srikandi Demokrasi, KIARA, PWYP