Senin, 26 Desember 2011

Masyarakat Tagih Janji Pengembalian 1032 Ha Lahan Yang di Serobot PT. IIS (ASIAN AGRI)

Kecamatan Merlung – Tanjab Barat pada tahun 1947 merupakan salah satu sentra pangan (beras) masyarakat Jambi, namun kini padi mulai hilang berganti dengan tegakan sawit dan lahan pun sudah banyak dikuasai perusahaan perkebunan sawit, salah satunya  PT. IIS (Asian Agri Group) yang memiliki konsesi seluas 17.500 ha (inti plasma)  dan beroperasi mulai tahun 1990. Dari sekian masalah yang ditimbulkan sebagai dampak baik langsung maupun tidak langsung dari kehadiran perusahaan perkebunan sawit ini, satu diantaranya terkait dengan konflik lahan seluas 1032 ha yang dikuasai oleh PT. IIS secara illegal (dikuatkan dengan hasil pengukuran ulang yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Tanjabar pada tahun 2002).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat 5 desa di kecamatan Merlung (Desa Merlung, Penyabungan, Lubuk Terap, Pulau Pauh dan Rantau Benar) sejak tahun 1998, seperti dalam bentuk dialogis dengan para pengambil kebijakan, pelaporan tindak kekerasan aparat juga aksi-aksi lapangan lainnya. Namun karena adanya permainan mata antara pemerintah dengan perusahaan hingga saat ini lahan tersebut belum dikembalikan ke masyarakat di 5 desa, walaupun objeknya sudah jelas setelah pengukuran ulang yang dilaksanakan pada tahun 2002.
WALHI Jambi memberikan apresiasi kepada masyarakat di Kecamatan Merlung yang sudah berupaya mengembalikan hak mereka yang direbut perusahaan, dan karenanya juga berdasarkan surat pernyataan masyarakat 5 desa di kecamatan Merlung tertanggal 22 Desember 2011 turut mendukung tuntutan masyarakat sebagai berikut:
1.Mendesak PT. IIS untuk segera mengembalikan lahan masyarakat yang digarap secara illegal seluas 1032 ha ke masyarakat di 5 desa di Kecamatan Merlung.
2.Mengingatkan pemerintah untuk tidak lagi bermain mata dengan perusahaan hanya demi kepentingan pribadi dan sekelompok orang.
3.Memberikan tenggat waktu 2 minggu kepada pemerintah dan PT. IIS sejak rilis ini disampaikan untuk segera menyelesaikan permasalahan ini dengan masyarakat 5 desa di Kecamatan Merlung.
4.Mengingatkan pemerintah dan perusahaan, bahwa jika dalam tenggat waktu tersebut tidak ada I’tikad baik dalam upaya penyelesaian masalah ini, maka masyarakat 5 desa di Kecamatan Merlung akan melakukan aksi penguasaan kembali hak masyarakat dengan cara masyarakat sendiri.

Walhi Desak BPN Segera Tuntaskan Sengketa Agraria di Mesuji dan Wilayah Potensi Konflik

Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa kasus Mesuji di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan merupakan pintu pembuka untuk mengungkap seluruh tindak pelanggaran hak atas perolehan tanah dan hak guna usaha (HGU) yang sudah dimiliki oleh perusahaan perkebunan sawit di seluruh wilayah Indonesia khususnya di kedua propinsi tersebut. Kehadiran pihak Badan Pertanahan Nasional ke Mesuji dalam kerangka mendudukan akar persoalan yang terjadi kami kira sangat mendesak ujar Mukri. Karena persoalan pokok yang terjadi di Mesuji terletak pada konteks agraria, bukan pada konteks kekerasan semata. Itu semua hanyalah akibat atau ekses atas terjadinya konflik pengelolaan sumber daya alam dan agaria. Dalam kasus ini kami melihat bahwa Badan Pertanahan masih bertindak sebagai penonton, padahal sepatutnya BPN adalah sebagai pihak yang turut bertanggung jawab secara langsung imbuh Mukri.
Walhi mendesak agar BPN betul-betul berperan aktif dan memulai langkah cepat dalam penuntasan sengketa agraria di Mesuji sebagai bentuk tanggung jawab moral selaku institusi yang telah menerbitkan HGU atas PT. BSMI dan PT. Lampung Inter Pertiwi (LIP) di Propinsi Lampung dan HGU atas PT. Treekreasi Marga Mulya (TMM) dan Sumber Wangi Alam (SWA) di Sumatera Selatan.
Terjadinya konflik di kedua wilayah ini telah mencerminkan bahwa sesungguhnya prinsip clean and clear dalam penerbitan Hak Guna Usaha atas ke empat (4) perusahaan tersebut tidaklah tuntas, khususnya di Lampung. Karena tidak mungkin terjadi perselisihan yang berkepanjangan antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan jika prinsip tersebut tuntas dilaksanakan. Walhi memastikan bahwa ada yang tidak beres dalam proses perolehan tanah dan penerbitan HGU tersebut. Setidaknya ada empat indikator, pertama bahwa terdapat pihak – pihak yang memiliki jumlah dan luas tanah yang sama, kedua bahwa para pihak tersebut bukan satu keluarga, ketiga diantara para pihak tersebut justeru terdapat pihak dari Badan Pertanahan. Ini salah satu letak persoalannya kata Berry Nahdian Forqan selaku Direktur Eksekutif Walhi. Kalau saja para pihak yang memiliki luas tanah yang sama itu adalah satu keluarga bisa masuk akal karena mendapat waris dari leluhur, tapi ini tidak. Terakhir bahwa benar masyarakat diwakili kepala desa menyerahkan lahan untuk diganti rugikan kepada pihak perusahaan, akan tetapi yang terjadi adalah bahwa tanah tidak diganti rugi namun surat tersebut dijadikan landasan oleh perusahaan untuk memohon perubahan izin lokasi. Di dalam poin perubahan atau revisi lokasi disebutkan bahwa lahan plasma dapat dirubah menjadi lahan inti.
Memperjelas keterangan Berry Nahdian Forqan, Mukri selaku Kepala Departemen Advokasi WALHI juga mendesak agar BPN membentuk tim yang khusus bertugas memeriksa cara-cara perolehan HGU di keempat perusahaan dimaksud. Dan harus dipastikan bahwa tim bentukan BPN tidak melibatkan kantor wilayah pertanahan baik di kabupaten maupun propinsi sebagai anggota tim. Mengapa karena bagaimana bisa memperoleh akurasi informasi dan data jika pihak yang juga akan diminta keterangan dan diselidiki dilibatkan dalam tim.
Tanpa mengabaikan unsur pelanggaran HAM terkait kekerasan, yang saat ini diharapkan oleh masyarakat adalah persoalan tanah sebagai substansi pokok akar masalah.
Lebih jauh lanjur Berry, jika BPN membentuk tim, maka tim ini bisa menjadi tim yang akan menyelidiki cara-cara perolehan HGU oleh perusahaan khususnya yang telah diadukan oleh masyakat dari berbagai wilayah kepada pihak BPN untuk segera ditangani. Dan WALHI mendesak agar BPN pada tahun 2012 memberlakukan moratorium pemberian ijin Hak Guna Usaha baru maupun perpanjangan HGU kepada seluruh pemohon. Selama proses moratorium berjalan, BPN hanya fokus memeriksa dan mengevaluasi HGU yang bermasalah dan segera mencabut HGU – HGU bermasalah tersebut.

Hentikan Tambang & Pembantaian Di Bima, SBY-Budiono Harus Tanggung Jawab

Tentara Nasional Indonesia dan Polisi lagi-lagi melakukan kekerasan dan pembantaian. Pada 24 Desember 2011, mereka menembaki warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) saat melakukan aksi damai sejak empat hari lalu di pelabuhan Sape.  Mereka menolak hadirnya tambang emas PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Pemerintah justru mengerahkan pasukan Brimob beserta perlengkapan anti huru hara, yang justru menembaki mereka pagi tadi. 3 orang meninggal, dan 9 lainnya kritis. Ini menandai puncak konflik antara pemerintah, perusahaan dan korporasi bekerjasama melawan warga negara sepanjang2011.
Penolakan Warga Lambu, Kabupaten Bima terhadap PT SMN telah dilakukandua tahun terakhir. PT  SMN mendapat Izin Usaha Penambangan (IUP) pada2008 selama 25 tahun, yang kemudian diperbaharui Pemerintah Kabupaten Bima IUP bernomor 188/45/357/004/2010, PT SMN dengan luasan 24.980 Hadi kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu dan seluas 14.318 Ha untuk PT. Indo Mineral Cipta Persada yang beroperasi di kecamatan Parado atas ijin Pemerintah pusat. PT Sumber Mineral Nusantara dimiliki sebagian besar sahamnya oleh PT Arc Exploration Ltd dari Australia.
FRAT menyampaikan penolakan karena tambang emas itu akan membahayakan mata pencarian warga. Warga Lambu sebagian besar penduduknya bertani dan nelayan. Tambang itu akan membongkar tanah dan mengganggu sumber air, tentunya akan menggangu pertanian warga. Apalagi perusahaan tak pernah melakukan sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat. Sejak itu, warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) terus menerus melakukan penolakan. Akhir Januari lalu, sekitar 1500 orang mendatangi camat untuk melakukan penolakan.
Sayangnya tak mendapat tanggapan memuaskan. Bulan berikutnya, ebruari 2011, ribuan warga kembali long march sepanjang 2 kilometer ke kantor camat Lambu.Pemerintah justru mengerahkan 250 personil aparat Polres Kota Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob Polda NTB. Pertemuan kembali tak ada hasil. Warga yang kecewa mendorong pintu kantor kecamatan Lambu,  justru dibalas gas air mata, peluru karet, bahkan diduga peluru tajam. Ratusan preman yang diorganisir aparat kecamatan memprovokasi warga. Bentrok tak bisa dihindari.
Tak berhenti di situ. Polisi melakukan pengejaran dan menangkap lima orang warga dan ditahan di Mapolresta Kota Bima.  Korban berjatuhan, M. Nasir (23) tulang kakinya diduga ditembak peluru tajam. November 2011, lebih seribu warga kembali melakukan aksi di depan DPRD Bima menuntut hal sama.
Warga melaporkan masalahnya kepada Komnas HAM, yang kemudian melakukan investigasi April 2011. Pada 9 November 2011, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi Nomor 2.784/K/PMT/XI/2011 yang ditujukan untuk Bupati Bima, Kapolda NTB dan Direktur PT SMN. Komnas HAM merekomendasikan Bupati Bima memperbaiki sistem informasi dan sosialisasi kegiatan pertambangan mulai eksplorasi hingga eksploitasi. Juga menghentikan sementara kegiatan PT SMN, sambil menunggu kondusifitas kehidupan bermasyarakat. Kapolda NTB diminta menempuh langkah-langkah koordinatif dan komunikatif dengan seluruh unsur pemerintah dan tokoh masyarakat guna mencegah terjadinya konflik horizontal di Kabupaten Bima.
Komnas HAM mendesak  menjamin kebebasan warga menyatakan pendapat atau aspirasi (demonstrasi) sesuai ketentuan perundang-undangan, dan menghindari tindakan represif menggunakan senjata dengan peluru tajam, dalam pengamanan aksi unjuk rasa. Tapi yang dilakukan aparat justru sebaliknya. Aksi damai yang dilakukan sejak  21 Desember 2011 itu diakhiri dkekerasan dan pembantaian. Ada 3 orang meninggal, dan 8 lainnya luka-luka. Arif Rahman (19th) tertembak lengan kanan tembus ke ketiak, Syaepul (17th) luka di dada dan tembus, dan satu lainnya belum diketahui namanya.
Delapan lainnya yang luka-luka adalah Sahabudin (31th), Ilyas Sulaiman (25th), Ibrahim (25th), Awaludin (24th), Suhaimi (23th), Mistahudin (18,th), Hasanan (perempuan, 39th). Sepanjang 2011 kekerasan oleh pemerintah dan aparat terhadap petani meningkat, WALHI mencatat lebih  103 kasus konflik sumber daya alam berbagai sektor. Mulai  kasus Sorikmas  di Sumatera Utara, Tiaka di Sulawesi tengah, Mesuji, kasus Senyarang, kasus teluk meranti pulau Padang, sampai menjelang natal kasus pembantaian di Lambu. Belum lagi potensi kasus lainnya yang serupa ke depan.
Presiden SBY dan Budiono harus bertanggungjawab terhadap bobroknya pengurusan agraria dan sumber daya alam, yang justru penyelesaiannya menggunakan pendekatan kejahatan kemanusiaan. Oleh karenanya kami
menuntut :
1.Presiden SBY segera mengeluarkan perintah resmi menghentikan dan mencabut ijin Pertambangan PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan menghentikan kekerasan dan pembantaian di Bima
2.Presiden SBY segera mengeluarkan perintah resmi menarik dan mengevaluasi seluruh aparat TNI-Polri di lokasi konflik sumber daya alam.
3.Presiden SBY segera menghentikan aktivitas perusahaan yanga berkonflik dan berpotensi konflik hingga ada kepastian penyelesaian secara struktural dengan membentuk Panitia Nasional Penyelasaian konflik agraria dan sumber daya alam
4.DPR RI segera menggunakan hak interpelasinya untuk meminta pertangungjawaban SBY atas terjadinya pelanggaran HAM berat  di sektor agraria dan sumber daya alam
5.SBY segera memecat dan mengganti  Timor Pradopo, Kapolri
6.Komnas HAM  dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memastikan perlindungan hukum terhadap korban, karena indikasi kekerasan ini akan meluas ke depan.
7.Mendesak Mahkamah Konstitusi segera memutuskan gugatan masyarakat sipil terhadap UU No 4 tahun 2009 tentang  Mineral dan Batubara yang menuntut pencabutan pasal-pasal kriminalisasi warga.
Hormat Kami,
WALHI, JATAM,  AGRA, KPA, YLBHI, Repdem, Sawit Watch, Koalisi Anti Utang, HMI MPO, IGJ, Formada NTT/ JPIC OFM, LIMA, PMKRI, DPP IMM, LMND, Srikandi Demokrasi, KIARA, PWYP

Prijanto Mengundurkan Diri dari Wakil Gubernur DKI

JAKARTA - Wakil Gubernur DKI Prijanto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Pengunduran diri Prijanto ini juga telah sampai ke Gubernur DKI Fauzi Bowo.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Humas Pemprov DKI, Minggu (25/12/2011), surat pengunduran diri Prijanto masuk tanggal 23 Desember 2011. Fauzi Bowo pun mengaku telah mendapat kabar resmi menyangkut pengunduran diri Wakil Gubernur DKI Prijanto. Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI sedianya akan berakhir Bulan Oktober 2012, namun Prijanto lebih dulu mengundurkan diri.
"Saya menyayangkan pengunduran diri Wakil Gubernur DKI Prijanto. Namun saya tetap menghormati keputusan Wakil Gubernur. Saya yakin keputusan itu telah dipertimbangkan matang-matang," ujar Foke, sapaan Fauzi Bowo.
Foke pun mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan serta kerja samanya selama ini dan berharap tali silahturahmi dengan Prijanto akan selalu terjaga. Permintaan pengunduran diri tersebut akan segera diproses sesuai hukum yang berlaku dan Foke sebagai Gubernur DKI tetap menjalankan tugasnya sebagaimana biasa.
Sementara itu, langkah-langkah untuk mengisi tanggung jawab posisi Wakil Gubernur DKI yang ditinggalkan akan secepatnya diselesaikan sesuai peraturan yang berlaku. Hingga saat ini, belum ada komentar resmi dari Prijanto mengenai pengunduran dirinya tersebut ( sumber : Tribunnews.com )

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons