Jakarta. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa
kasus Mesuji di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan merupakan pintu
pembuka untuk mengungkap seluruh tindak pelanggaran hak atas perolehan
tanah dan hak guna usaha (HGU) yang sudah dimiliki oleh perusahaan
perkebunan sawit di seluruh wilayah Indonesia khususnya di kedua
propinsi tersebut. Kehadiran pihak Badan Pertanahan Nasional ke Mesuji
dalam kerangka mendudukan akar persoalan yang terjadi kami kira sangat
mendesak ujar Mukri. Karena persoalan pokok yang terjadi di Mesuji
terletak pada konteks agraria, bukan pada konteks kekerasan semata. Itu
semua hanyalah akibat atau ekses atas terjadinya konflik pengelolaan
sumber daya alam dan agaria. Dalam kasus ini kami melihat bahwa Badan
Pertanahan masih bertindak sebagai penonton, padahal sepatutnya BPN
adalah sebagai pihak yang turut bertanggung jawab secara langsung imbuh
Mukri.
Walhi mendesak agar BPN betul-betul berperan aktif dan memulai
langkah cepat dalam penuntasan sengketa agraria di Mesuji sebagai bentuk
tanggung jawab moral selaku institusi yang telah menerbitkan HGU atas
PT. BSMI dan PT. Lampung Inter Pertiwi (LIP) di Propinsi Lampung dan HGU
atas PT. Treekreasi Marga Mulya (TMM) dan Sumber Wangi Alam (SWA) di
Sumatera Selatan.
Terjadinya konflik di kedua wilayah ini telah mencerminkan bahwa
sesungguhnya prinsip clean and clear dalam penerbitan Hak Guna Usaha
atas ke empat (4) perusahaan tersebut tidaklah tuntas, khususnya di
Lampung. Karena tidak mungkin terjadi perselisihan yang berkepanjangan
antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan jika prinsip tersebut
tuntas dilaksanakan. Walhi memastikan bahwa ada yang tidak beres dalam
proses perolehan tanah dan penerbitan HGU tersebut. Setidaknya ada empat
indikator, pertama bahwa terdapat pihak – pihak yang memiliki jumlah
dan luas tanah yang sama, kedua bahwa para pihak tersebut bukan satu
keluarga, ketiga diantara para pihak tersebut justeru terdapat pihak
dari Badan Pertanahan. Ini salah satu letak persoalannya kata Berry
Nahdian Forqan selaku Direktur Eksekutif Walhi. Kalau saja para pihak
yang memiliki luas tanah yang sama itu adalah satu keluarga bisa masuk
akal karena mendapat waris dari leluhur, tapi ini tidak. Terakhir bahwa
benar masyarakat diwakili kepala desa menyerahkan lahan untuk diganti
rugikan kepada pihak perusahaan, akan tetapi yang terjadi adalah bahwa
tanah tidak diganti rugi namun surat tersebut dijadikan landasan oleh
perusahaan untuk memohon perubahan izin lokasi. Di dalam poin perubahan
atau revisi lokasi disebutkan bahwa lahan plasma dapat dirubah menjadi
lahan inti.
Memperjelas keterangan Berry Nahdian Forqan, Mukri selaku Kepala
Departemen Advokasi WALHI juga mendesak agar BPN membentuk tim yang
khusus bertugas memeriksa cara-cara perolehan HGU di keempat perusahaan
dimaksud. Dan harus dipastikan bahwa tim bentukan BPN tidak melibatkan
kantor wilayah pertanahan baik di kabupaten maupun propinsi sebagai
anggota tim. Mengapa karena bagaimana bisa memperoleh akurasi informasi
dan data jika pihak yang juga akan diminta keterangan dan diselidiki
dilibatkan dalam tim.
Tanpa mengabaikan unsur pelanggaran HAM terkait kekerasan, yang saat
ini diharapkan oleh masyarakat adalah persoalan tanah sebagai substansi
pokok akar masalah.
Lebih jauh lanjur Berry, jika BPN membentuk tim, maka tim ini bisa
menjadi tim yang akan menyelidiki cara-cara perolehan HGU oleh
perusahaan khususnya yang telah diadukan oleh masyakat dari berbagai
wilayah kepada pihak BPN untuk segera ditangani. Dan WALHI mendesak agar
BPN pada tahun 2012 memberlakukan moratorium pemberian ijin Hak Guna
Usaha baru maupun perpanjangan HGU kepada seluruh pemohon. Selama proses
moratorium berjalan, BPN hanya fokus memeriksa dan mengevaluasi HGU
yang bermasalah dan segera mencabut HGU – HGU bermasalah tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar