Selasa, 06 Desember 2011

Penggunaan DAU/DAK Rawan Penyelewengan

Jakarta, SP Aktual- Tata kelola keuangan daerah pusat dalam penentuan bagi hasil kekayaan tak hanya lemah pada porsi idealnya. Kelemahan lainnya juga kentara dalam kontrol penggunaan. Akibatnya, penggunaan DAU/DAK itu rawan penyelewengan.

Ketua Dekan FISIP UI Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono menegaskan, pengelolaan tata keuangan daerah saat ini sangat lemah kontrolnya. Regulasi yang disiapkan tak cukup mumpuni mengevaluasi itu.

"Kalau hanya besar kecil bagi hasil kekayaan itu soal sepele. Paling tidak hanya porsi ideal. Tapi kalau soal pengelolaan kekayaan itu yang perlu ditekankan," tutur Bambang kepada INDOPOS kemarin.

Menurut Bambang, desakan pemerintah daerah untuk meminta besaran bagi hasil yang lebih baik bukan persolan sulit. Sebagai daerah penyumbang anggaran, besaran hak bagi hasil itu memang perlu dievaluasi lagi Hanya saja, Bambang meminta ukuran besar kecil dana bagi hasil harus diikuti mekanisme kontrol penggunaannya. Selama ini, kontrol dalam pengelolaan DAU/DAK ituterlalu konvensional. Padahal, dana yang dihasilkan dari DAU/DAK itu sangat besar."Bayangkan saja kita bicara soal besaran bagi hasil kekayaan alam. Tapi tidak bicara transparansi nilai yang didapat dari semua sumber pendapatan tersebut," ucap anggota penyusun road map perdamaian Konflik Papua ini.

Dia menilai kontrol besaran DAU/ DAK itu harus dimulai dari sumbernya. Yakni melihat secara terbuka pendapatan dari kekayaan alam yang dihasilkan. Dengan segala parameter yang lengkap.

Dengan begitu, menurut dia, dapat secara ideal pula menentukan besaran bagi hasil kekayaan antara pusat dan daerah. Karena dapat melihat kewenangan yang diperankan pusat-daerah. "Prinsipnya itu kekayaan alam dikuasai negara dan diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat. Ini dasar berpikirnya," pungkas dia. Berpijak pada dasar itulah, tambah Guru Besar FISIP UI, ini kerangka besaran bagi hasil kekayaan mulai diatur. Tentunya perlu ada keterbukaan antara pusat dan daerah dalam nilai sesungguhnya pendapatan dari kekayaan daerah teresbut. Pemerintah pusat, ucap dia, tak bias menutupi besaran sesungguhnya yang didapatkan dari kekayaan tersebut. Pemerintah daerah berhak mengeta hui persis nilai pendapatan yang didapatkan, agar keduanya memiliki keterlibatan dalam persoalan itu.

"Memang kerap muncul, pemerintah daerah hanya mendapatkan kerusakan alam dari tambang-tambang yang ada. Sedangkan pemerintah pusat dengan mudah membagi-bagi DAU/DAK tanpa mempertimbangkan kondisi yang ditanggung daerah," jelas penyabet gelar Doktor bidang Kebijakan dan Perencanaan Sosial.

Dia berharap penekanan kontrol pengelolaan DAU/DAK harus lebih diperkuat. Mulai pendapatan yang diperoleh, biaya sosial dan dampkanya sekaligus penentuan besar. Sekaligus pertanggungjawaban dalam penggunaannya. "Saya kira perlu kembali dipikirkan bersama. Semua pihak perlu berdiskusi lagi," ujarnya.

Deputi Penelitian dan Pengembangan KPK Doni Muhardiansyah menambahkan, hasil studi KPK terhadap indeks integritas daerah menunjukkan pula dugaan penyimpangan pada DAU/DAK. Persoalan pengelolaan DAU/DAK ini pun menjadi perhatian KPK.

"Penyimpangan DAU/DAK termasuk kasus korupsi yang menjadi penting di KPK, selain suap, gratifikasi, bantuan sosial danlainnya," pungkasnya.

Untuk itulah, lanjut dia, KPK terus berupaya memberikan terobosan dalam pengelolaan DAU/DAK yang ideal. Sebab, persoalan penyimpangan DAU/ DAK ini masih terbilang kurang banyak dipahami. Berbeda dengan kasUs korupsi konvensional, seperti suap, mark up atau gratifikasi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons